like box Hajami Atmaja

Minggu, 06 Januari 2013

ILMU LADUNNI


Dr. Yunasril Ali
Dosen UIN Jakarta


ILMU LADUNNI ITU  HANYA BAGI MEREKA YANG SUCI
            Sebagai makhluk yang serba ingin tahu , tiap manusia tentunya akan selalu berburu pengetahuan . Jika pengetahuan itu umumnya diperoleh melalui proses belajar , maka ada pula yang diperoleh melalui ilmu ladunni .

            Menurut Dr. Yunasril Ali , dosen yanag relatif familiar dengan pandangan – pandangan tasawuf al – Ghazali dan Ibnu Arabi ini , mereka yang senantiasa menjaga kesucian hatinya boleh jadi akan mendapat limpahan  pengetahuan langsung dari Allah .

            Jenis pengetahuan inilah yang ia maksudkan dengan ilmu ladunni  ini, berikut petikan wawancara Cahaya Sufi dengan pengamal tasawuf yang beberapa tahun lalu justru pernah mengecam ilmu ladunni  ini .

            Menurut Anda , apa yang dimaksud dengan ilmu ladunni , dan adakah ayat al – Qur’an yang menyinggung soal ini ?

            Dalam bahasa Arab , laduni itu artinya di sisi , term  ini terdapat misalnya dalam surah al – Kahfi ayat 65 yang mengisahkan antara Nabi Khidir dengan Nabi Musa , Nah , dalam ayat tersebut ada perkataan wa’allamnahu min – ladunna ‘ ilma  Artinya, “ Dan kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi kami ,” Atas dasar ini maka muncullah istilah ilmu ladunni .

            Jadi ilmu ladunni  itu adalah pengetahuan langsung yang dikaruniakan Allah kepada manusia tertentu , tanpa melalui pengajaran atau perantaraan guru,

            Apakah dalam kitab –kitab tasawuf ada uraian yang mengupas soal ilmu laduni ?

            Ya , ada ! Uraian yang agak panjang itu terdapat dalam kitab al – Risalah al – ladunniyahkarya al – Ghazali , selain al – Ghazali ada juga Ibnu Arabi . Penjelasan Ibnu Arabi tentang hal – hal yang berkaitan dengan ilmu ladunni  ini terdapat dalam mukaddimah Futuhat al – Makiyah , tetapi uraiannya tidak serinci al Gzahali , sementara dalam karya –karya Ibnu Arabi lainnya , semisal dalam Fushushul – Hikam , soal ini hanya disinggung sedikit – sedikit.


            Bagaimana pandangan al – Ghazali mengenai ilmu ladunni ini ?    

            Begini ! ilmu itu kan pengetahuan yang diperoleh manusia , Nah , cara memperolehnya itu ada dua cara , :
  1. Ada ilmu yang dicari oleh manusia ,
  2. Ada juga ilmu yang dikauniakan langsung oleh Allah .
Dalam istilah al – Ghazali , yang diuraikan dalam kitabnya al Risalah al – ladunniyah ,

Yang Pertama itu disebutnya ta’lim insany, yaitu ilmu yang diperoleh melalui pengajaran diantara manusia atau ilmu al – muktasab , yaitu yang dalam memperolehnya itu diusahakan oleh manusia .

Adapun katagori yang kedua disebutnya dengan ilmu mauhub atau ilmu yang dikaruniakan langsung oleh Allah.

      Kelompok yang pertama itu , itulah ilmu keseharian yang dipelajari manusia baik secara formal melalui lembaga – lembaga pendidikan maupun secara informal. Adapun kelompok ilmu yang kedua , yaitu ilmu ladunni  , sebenarnya memang ada juga unsur usahanya , hanya saja usahanya itu bersifat tidak langsung . Aspek usahanya itu tiada lain adalah melalui intensitas amal sampai sedemikian rupa , sehingga kualitas hatinya itu memang sudah layak untuk dapat menerima limpahan ilmu ladunni , nah ilmu ladunni  itu dinamakan juga dengan ilmu mukasyafah . Sebab limpahan ilmu ladunni itu diterima manusia pada saat mengalami mukasyafah , yaitu terbukanya hijab antara hamba dengan Allah

      Lalu bagaimana dengan pandangan Ibnu Arabi ?

      Pada intinya tidak berbeda dengan penjelasan al Ghazali. Menurut Ibnu Arabi , yang muktasab itu dibagi dua , yaitu ilmul – aqli dan ilmul – ahwal .
Ilmul – aqli itu adalah ilmu dari hasil penalaran , sedangkan ilmul – ahwal adalah ilmu dari hasil exkperimen atau penelitian empiris . Adapun istilah Ibnu Arabi terhadap ilmu mauhub atau ilmuladunni  tadi adalah ilmul – asrar karena cara mendapatkannya itu adalah berupa karunia dari Allah secara langsung kecuali itu , ilmu asrar ini tidak semua harus disampaikan kepada ummat. Jadi dikatakan ilmu asrar itu karena ada bagian – bagian yang perlu dirahasiakan dari ummat Islam pada umumnya




      Jika demikian , apakah ilmu ladunni ini hanya otoritas kaum sufi / wali saja ?

      Kalau kita baca uraian – uraian dari kaum sufi ada kesan seperti itu . Menurut Ibnu Arabi misalnya , yang bisa mendapatkan ilmu ladunni  itu hanyalah orang –orang yang hatinya sudah sangat suci . Analoginya begini … Ilmu itu kan biasa diibaratkan dengan nur atau cahaya . Nah , dengan demikian limpahan cahaya itu sangat bergantung dengan kesiapan penerima cahayanya . Dalam konteks ini , Ibnu Arabi menyinggung soal isti’dad yaitu kesiapan atau kelayakan kualitas batin untuk dapat menerima anugerah ilmu dari yang Maha Suci kan kualitas hati penerimanya juga meski suci pula . Adapun orang – orang yang sudah jelas jelas sangat suci hatinya itu tiada lain adalah para nabi, para wali dan para sufi . Hanya saja dalam konteks nabi dan rasul itu disebut nubuwwah dan risalah dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan wahyu , sedangkan dalam konteks sufi atau wali disebut walayah atau kewalian , dan apa yang diberikan Allah kepadanya disebut dengan ilmu ladunni .

      Apakah definisi ilmu ladunni itu hanya dilihat dari cara perolehannya saja, ataukah dapat juga dilihat dari segi obyek pengetahuannya ?

      Sejauh yang saya baca dari tulisan Ibnu Arabi dan al Ghazali , keduanya cenderung melihatnya dari segi cara perolehannya. Maka sebenarnya , menurut mereka ilmu ladunni  itu bila ditinjau dari cara perolehannya hampir sama dengan wahyu , hanya tentu saja tingkatannya dibawah wahyu .

      Jadi perbedaan antara ilmu ladunni dengan wahyu ?

      Perbedaannya jelas , kalau wahyu itu kan hanya untuk mereka yang ditunjuk sebagai nabi dan atau rasul . Sementara ilmu ladunni  adalah dunia walayah atau kewalian yang personnya tidak ditentukan . Jadi siapa saja yang kualitas hatinya sudah sangat suci sehingga mencapai derajat wali atau sufi , maka atas idzin Allah dia  akan ( berpeluang ) memperoleh anugerah berupa ilmuladunni  selain itu , apabila  wahyu yang dianugrahkan kepada para rasul itu mutlak harus disampaikan kepada ummat , sedangkan pengetahuan yang dperoleh melalui ilmu ladunni  tidak mutlak harus disampaikan kepada ummat.

      Apakah karena alasan yang terakhir itu sehingga Ibnu Arabi menyebutnya juga dengan istilah ilmu asrar ?

      Ya , diantaranya seperti itu dengan demikian , meski ilmu ladunni  itupun bersifat mutlak kebenarannya karena memang berasal dari Yang Maha Benar, tetapi terhadap wali atau sufi yang memperolehnya tidak dibebankan kewajiban untuk menyampaikan pengetahuan tadi kepada orang lain .

Tapi , bukankah Islam telah mewajibkan kepada ummatnya untuk berdakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing –masing ?

      Ya itu benar . Tetapi apa yang harus didakwahkan oleh para wali atau sufi itu bukan apa yang diperolehnya melalui ilmu ladunni  tadi , melainkan risalah umum yang telah disampaikan Kepada Nabi Muhammad . Dengan kata lain , apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad kepada ummat manusia itulah yang harus mereka dakwahkan . Nah dalam konteks Rasulullah , apa yang beliau sampaikan itu adalah risalah .
      Selain risalah , beliau juga memiliki nubuwwah yang bersifat khusus dan personal sehingga tidak beliau sampaikan kepada sembarang orang . Beliau hanya menyampaikan aspek nubuwwah itu kepada orang –orang tertentu saja , seperti kapada Uwais.
      Karena itu Uwais ini memiliki pengetahuan – pengetahuan khusus yang bahkan para sahabat utama nabi sendiri tidak mengetahuinya . Analog dengan nubuwwah , itulah ilmu ladunni  yang dianugeragakn Allah secara langsung dan khusus kepada hamba – hambanya yang suci .

      Mengapa ilmu ladunni tidak boleh disampaikan secara begitu saja kepada ummat ?

      Sebab itu tadi …ilmu ladunni  itu berada dalam dataran dunia walayah atau kewalian yang sifat pengetahuannya itu begitu khusus dan sublim. Bila ini disampaikan juga , jangan –jangan malah bisa menyesatkan orang lain . Dengan demikian , bila ada orang yang mengklaim mendapat ilmu ladunni , dan lantas dia mengobral pengetahuannya itu kepada sembarang orang , saya kira orang itu patut diragukan kebenarannya sebab sebagaimana tadi sudah disinggung , anugerah ilmu ladunni  itu kan hanya dimungkinkan bagi mereka yang hatinya sudah suci .
      Karena itu mereka yang memperoleh ilmu ladunni  pasti orangnya itu sangat arif     . Orang yang arif itu kan dapat mengantisipasi tingkat kemadlaratan bagi orang lain. Jika pun ada dari kalangan sufi yang terekspos , sehingga mengundang kontroversi , itu boleh jadi ulah para murid atau pengikut – pengikutnya.

      Jadi jika pengetahuan yang diperoleh secara ladunni itu kemudian diekspos ke orang lain bisa – bisa akan menimbulkan fitnah ?

      Ya. Bila orang yang mendengar ilmu ladunni  tadi belum siap menerimanya , dalam arti kemampuan atau tingkat kesucian hatinya biasa – biasa saja serta pengalaman spiritualnya masih terbatas , ya akibatnya bisa repot .

      Jika ilmu ladunni hanya bagi mereka yang suci , lalu bagaimana dengan pengetahuan yang dianugerahkan secara langsung oleh Allah kepada umat Islam  pada umumnya ?

      Itu mungkin namanya bukan ilmu ladunni , melainkan ilham . Sebab berbeda dengan ilmuladunni , ilham itu bisa diberikan keapada siapa saja .

      Apa perbedaan yang substansial antara ilmu ladunni dengan ilham ?

      Ilmu ladunni  itu sebagaimana ditegaskan Ibnu Arabi , sifatnya mutlak benar . Sedangkan ilham itu bisa benar , bisa juga salah , sebagaimana ditegaskan dalam surat Asy – Syams ayat 7 : “ kami ilhamkan kepada manusia jalan kefasikan dan ketakwaannya “ . Jadi yang diilhamkan itu bisa dua , yaitu fujuraha sebagai representasi dari ilham yanag salah ; dan wataqwaha yang mengacu pada ilham yang benar .
Bahkan dalam ayat selanjutnya dinyatakan bahwa beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya , karena itu mereka berhak mendapatkan ilham yang benar . Sebaliknya merugilah orang yang mengotori jiwanya , karena itu mereka berhak atas ilham yang salah.

Lantas bagaimana untuk dapat mengetahui apakah suatu ilham itu benar ataukah salah ?

Ya tinggal intropeksi diri saja , sejauh mana kondisi atau kualitas hati kita pada saat itu . Sejauh mana pula hati kita itu terpaut pada Allah . Singkatnya , ilham itu bisa benar dan bisa juga salah sangat tergantung pada kualitas hati orang yang bersangkutan.

Selain al – Qur’an , apakah ada hadist yang menyinggung soal ilmu ladunni ?

Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Nuaim . Barangsiapa mengamalkan ilmunya , maka Allah akan mewariskan kepadanya ilmu yang belum dia ketahui . Nah , hadist ini bila dipahami maknanya secara mendalam , maka kandungannya mengarah pada ilmu ladunni  yang tadi kita jelaskan . tapi pengertiannya mengamalkan ilmu yang dimaksud dlam hadist ini tentunya bukan sekedar amaliah formal , melainkan amal yang mengandung kedalaman aspek batiniyahnya . Karenanya …ya itu tadi ! ilmu ladunni  itu erat kaitannya dengan kualitas . Jadi , semakin suci kualitas seseorang , maka dia akan semakin berpeluang mendapaat ilmu ladunni 



" NASHIYAH "


NASHIYAH

Al-Qur’an menyifati kata nashiyah dengan kata kadzibah khathi’ah (berdusta lagi durhaka). Allah berfirman, “(Yaitu) ubun-ubun yang mendustakan lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 16)

Bagaimana mungkin ubun-ubun disebut berdusta sedangkan ia tidak berbicara?  Dan bagaimana mungkin ia disebut durhaka sedangkan ia tidak berbuat salah?

Prof. Muhammad Yusuf Sakr memaparkan bahwa tugas bagian otak yang ada di ubun-ubun manusia adalah mengarahkan perilaku seseorang. “Kalau orang mau berbohong, maka keputusan diambil di frontal lobe yang bertepatan dengan dahi dan ubun-ubunnya. Begitu juga, kalau ia mau berbuat salah, maka keputusan juga terjadi di ubun-ubun.”

Kemudian ia memaparkan masalah ini menurut beberapa pakar ahli. Di antaranya adalah Prof. Keith L More yang menegaskan bahwa ubun-ubun merupakan penanggungjawab atas pertimbangan-pertimbangan tertinggi dan pengarah perilaku manusia. Sementara organ tubuh hanyalah prajurit yang melaksanakan keputusan-keputusan yang diambil di ubun-ubun.

Karena itu, undang-undang di sebagian negara bagian Amerika Serikat menetapkan sanksi gembong penjahat yang merepotkan kepolisian dengan mengangkat bagian depan dari otak (ubun-ubun) karena merupakan pusat kendali dan instruksi, agar penjahat tersebut menjadi seperti anak kecil penurut yang menerima perintah dari siapa saja.

Dengan mempelajari susunan organ bagian atas dahi, maka ditemukan bahwa ia terdiri dari salah satu tulang tengkorak yang disebut frontal bone. Tugas tulang ini adalah melindungi salah satu cuping otak yang disebut frontal lobe. Di dalamnya terdapat sejumlah pusat neorotis yang berbeda dari segi tempat dan fungsinya.

Lapisan depan merupakan bagian terbesar dari frontal lobe, dan tugasnya terkait dengan pembentukan kepribadian individu. Ia dianggap sebagai pusat tertinggi di antara pusat-pusat konsentrasi, berpikir, dan memori. Ia memainkan peran yang terstruktur bagi kedalaman sensasi individu, dan ia memiliki pengaruh dalam menentukan inisiasi dan kognisi.

Lapisan ini berada tepat di belakang dahi. Maksudnya, ia bersembunyi di dalam ubun-ubun. Dengan demikian, lapisan depan itulah yang mengarahkan sebagian tindakan manusia yang menunjukkan kepribadiannya seperti kejujuran dan kebohongan, kebenaran dan kesalahan, dan seterusnya. Bagian inilah yang membedakan di antara sifat-sifat tersebut, dan juga memotivasi seseorang untuk bernisiatif melakukan kebaikan atau kejahatan.



Ketika Prof. Keith L Moore melansir penelitian bersama kami seputar mukjizat ilmiah dalam ubun-ubun pada semintar internasional di Kairo, ia tidak hanya berbicara tentang fungsi frontal lobe dalam otak (ubun-ubun) manusia. Bahkan, pembicaraan merembet kepada fungsi ubun-ubun pada otak hewan dengan berbagai jenis. Ia menunjukkan beberapa gambar frontal lobe sejumlah hewan seraya menyatakan, “Penelitian komparatif terhadap anatomi manusia dan hewan menunjukkan kesamaan fungsi ubun-ubun.

Ternyata, ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarauh pada manusia, sekaligus pada hewan yang memiliki otak. Seketika itu, pernyataan Prof. Keith mengingatkan saya tentang firman Allah, “Tidak ada suatu binatang melata pun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” (Hud: 56)

Beberapa hadits Nabi SAW yang bericara tentang ubun-ubun, seperti doa Nabi SAW, “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu dan anak hamba perempuan-Mu, ubun-ubunku ada di tangan-Mu…”

Juga seperti doa Nabi SAW, “Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap sesuatu yang Engkau pegang ubun-ubunnya…”

Juga seperti sabda Nabi SAW, “Kuda itu diikatkan kebaikan pada ubun-ubunnya hingga hari Kiamat.”

Apabila kita menyandingkan makna nash-nash di atas, maka kita menyimpulkan bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengendali perilaku manusia, dan juga perilaku hewan.

Makna Bahasa dan Pendapat Para Mufasir:

Allah berfirman,


“Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya Kami tarik ubun-ubunnya, (yaitu) ubun-ubun orang yang berdusta lagi durhaka.” (Al-‘Alaq: 15-16)

Kata nasfa’ berarti memegang dan menarik. Sebuah pendapat mengatakan bahwa kata ini terambil dari kalimat safa’at asy-syamsu yang berarti matahari mengubah wajahnya menjadi hitam. Sementara kata nashiyah berarti bagian depan kepala atau ubun-ubun.

Mayoritas mufasir menakwili ayat bahwa sifat bohong dan durhaka itu bukan untuk ubun-ubun, melainkan untuk empunya. Sementara ulama selebihnya membiarkannya tanpa takwil, seperti al-Hafizh Ibnu Katsir.

Dari pendapat para mufasir tersebut, jelas bahwa mereka tidak tahu ubun-ubun sebagai pusat pengambilan keputusan untuk berbuat bohong dan durhaka. Hal itu yang mendorong mereka untuk menakwilinya secara jauh dari makna tekstual. Jadi, mereka menakwili shifat dan maushuf (yang disifati) dalam firman Allah, “Ubun-ubun yang dusta lagi durhaka” itu sebagai mudhaf dan mudhaf ilaih. Padahal perbedaan dari segi segi bahasa antara shifat dan maushuf dengan mudhaf dan mudhaf ilaih itu sangat jelas.

Sementara mufasir lain membiarka nash tersebut tanpa memaksakan diri untuk memasuki hal-hal yang belum terjangkau oleh pengetahuan mereka pada waktu itu.

Sisi-Sisi Mukjizat Ilmiah:

Prof. Keith L Moore mengajukan argumen atas mukjizat ilmiah ini dengan mengatakan, “Informasi-informasi yang kita ketahui tentang fungsi otak itu sebelum pernah disebutkan sepanjang sejarah, dan kita tidak menemukannya sama sekali dalam buku-buku kedokteran. Seandainya kita mengumpulkan semua buku pengobatan di masa Nabi SAW dan beberapa abad sesudahnya, maka kita tidak menemukan keterangan apapun tentang fungsi frontal lobe atau ubun-ubun. Pembicaraan tentangnya tidak ada kecuali dalam kitab ini (al-Qur’an al-Karim). Hal itu menunjukkan bahwa ini adalah ilmu Allah yang pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu, dan membuktikan bahwa Muhammad adalah Utusan Allah.

Pengetahuan tentang fungsi frontal lobe dimulai pada tahun 1842, yaitu ketika salah seorang pekerja di Amerika tertusuk ubun-ubunnya stik, lalu hal tersebut memengaruhi perilakunya, tetapi tidak membahayakan fungsi tubuh yang lain. Dari sini para dokter mulai mengetahui fungsi frontal lobe dan hubungannya dengan perilaku seseorang.

Para dokter sebelum itu meyakini bahwa bagian dari otak manusia ini adalah area bisu yang tidak memiliki fungsi. Lalu, siapa yang Muhammad SAW bahwa bagian dari otak ini merupakan pusat kontrol manusia dan hewan, dan bahwa ia adalah sumber kebohongan dan kesalahan.

Para mufasir besar terpaksa menakwili nash yang jelas bagi mereka ini karena mereka belum memahami rahasianya, dengan tujuan untuk melindungi Al Qur’an dari pendustaan manusia yang jahil terhadap hakikat ini di sepanjang zaman yang lalu. Sementara kita melihat masalah ini sangat jelas di dalam Kita Allah dan Sunnah Rasulullah SAW, bahwa ubun-ubun merupakan pusat kontrol dan pengarah dalam diri orang dan hewan.

Jadi, siapa yang memberitahu Muhammad SAW di antara seluruh umat di bumi ini tentang rahasia dan hakikat tersebut? Itulah pengetahuan Allah yang tidak datang kepadanya kebatilan dari arah depan dan belakangnya, dan itu merupakan bukti dari Allah bahwa Al Qur’an itu berasal dari sisi-Nya, karena ia diturunkan dengan pengetahuan-Nya. Wallahua'lam.

Maukie

Shark Break